Desain interior memiliki hubungan timbal balik dengan perilaku manusia. Bentuk, lay out, dekorasi ruangan sudah pasti akan mempengaruhi bagaimana seseorang akan melangkah, berpikir dan merasakan. Sebagai contoh, desain interior ruangan bioskop tentu berbeda dengan sebuah perpustakaan. Meskipun sama-sama ingin menciptakan keheningan namun desainnya berbeda. Pencahayaan dalam bioskop cenderung minimal. Sementara perpustakaan membutuhkan pencahayaan yang baik untuk keperluan membaca. Desain interior bioskop akan mengarahkan para penonton untuk duduk tenang, tidak banyak berdiri, tidak banyak bicara dan fokus yang sama menatap ke depan. Sementara desain interior perpustakaan akan mengarahkan orang untuk duduk dengan tenang, fokus pada hal yang berbeda namun masih bisa sesekali berdiri untuk mencari buku. Manusia merespon interior suatu ruangan dalam bentuk perilaku. Sebaliknya, perilaku apa yang hendak kita ciptakan dari manusia dapat kita bentuk dari suasana desain interior yang kita pilih.
Seperti apakah sisi psikologi manusia yang dapat diakomodasi oleh sebuah desain interior?
Kebutuhan bersosialisasi.
Manusia adalah makhluk sosial. Manusia selalu terdorong untuk berhubungan dan membangun relasi dengan orang lain. Karena itu desain interior yang mengedepankan ruang yang cenderung lega, luas dan terbuka dilengkapi perabot untuk bercengkrama dengan nyaman pasti dibutuhkan dalam sebuah rumah ataupun kantor. Di sebuah rumah, interior ruang keluarga harus didesain dengan suasana yang hangat dan mengundang orang untuk hadir di sana. Pemilihan sofa, karpet, wallpaper, bahkan lampu harus nyaman dan hangat. Anda tidak mungkin meletakkan lampu disco di ruang keluarga bukan?
Bagaimana dengan ruangan di kantor? Ruang kantor dengan konsep terbuka (tanpa cubicle) akan meningkatkan interaksi sosial di antara karyawan. Atau sebuah pantry atau kantin kecil seringkali cukup untuk karyawan beristirahat sejenak sambil bersosialisasi satu sama lain. Interior ruang terbuka di kantor harus cukup mampu mengundang orang untuk datang meskipun hanya sejenak. Ruang meeting pun juga sebuah ruang untuk bersosialisasi. Ruang meeting harus didesain cukup nyaman untuk saling berbincang. Pemilihan meja dan kursi (bentuk, bahan, jarak perabot dan perlengkapan meeting) harus tepat sehingga orang lebih memilih berdiskusi dalam ruang meeting daripada berdiri di koridor kantor.
Kebutuhan akan privasi.
Meskipun manusia adalah makhluk sosial, namun manusia pun membutuhkan waktu sendiri untuk melakukan refleksi tentang apapun juga. Suasana tenang juga diperlukan untuk mengatur kembali kondisi mental (mood). Sehingga masih diperlukan ruang-ruang yang mengarah pada privasi baik di sebuah rumah ataupun kantor. Interior ruang untuk tujuan privasi dapat didesain sesuai dengan kepribadian yang bersangkutan. Warna cat kamar dengan warna favorit, pemilihan bahan perabot atau pemilihan lampu gantung semuanya dapat disesuaikan dengan kepribadian pemilik ruang tersebut. Di kantor, meskipun ruang privasi hanya berbentuk cubicle/partisi, bukan tidak mungkin bisa disesuaikan dengan kepribadian yang bersangkutan atau orang-orang yang menempati ruangan tersebut. Memasang foto keluarga, tanaman kecil di atas meja, atau vas bunga adalah salah satu bentuk cerminan psikologi manusia yang mempengaruhi desain interior. Ukuran cubicle atau ruang kerja harus dapat mengakomodasi hal-hal sederhana ini.
Kondisi secara rasional dan emosional.
Manusia memiliki kondisi rasional dan emosional yang akan mempengaruhi interaksi manusia dengan desain interior. Unsur-unsur desain interior seperti warna, ukuran ruang, bentuk ruang, perabot, suhu dan pencahayaan akan memberikan efek positif atau negatif terhadap kondisi rasional dan emosional seseorang. Efek yang diterima pada tiap-tiap orang bisa berbeda tergantung dari pemahaman dan pengalaman tiap-tiap individu.
Interior harus memiliki warna yang tepat untuk mendapatkan perilaku atau emosi yang diinginkan. Misalnya di sebuah rumah sakit, warna yang paling sering digunakan adalah warna putih atau warna-warna cerah karena melambangkan kebersihan dan ketenangan sehingga akan membentuk rasa aman dan kenyamanan pada pasien.
Warna di ruang perpustakaan atau ruang kerja dapat menggunakan warna kuning. Warna kuning memberikan rasa kehangatan dan kebahagiaan sehingga akan memberikan perasaan yang positif dan konsentrasi yang maksimal.
Warna yang kuat seperti merah akan memberikan efek yang aktif, tanda bahaya, kecepatan dan kekuatan. Warna ini seringkali digunakan di ruang-ruang yang berpotensi mengandung bahaya karena warna merah cenderung meningkatkan kewaspadaan.
Warna hijau, cokelat dan biru cukup netral untuk digunakan di ruang apapun. Warna-warna alami mampu memberikan rasa segar, damai dan tenang. Warna-warna seperti ini bisa diaplikasikan di ruang tidur karena akan membantu kita untuk beristirahat lebih baik. Jarang sekali warna yang kuat seperti merah diaplikasikan di kamar tidur.
Suhu dan pencahayaan juga mempengaruhi kondisi emosional seseorang. Seseorang pasti akan menghubungkan kondisi suhu ruangan dengan emosinya. Sebagian orang akan merasa tenang di ruangan yang sejuk atau dingin. Demikian juga dengan pencahayaan, saat seseorang memasuki ruangan bioskop yang remang-remang yang cenderung kedap suara, ia akan otomatis berpikir untuk berbicara lebih pelan atau bahkan tidak berbicara sama sekali.
Demikianlah kondisi psikologi dan desain interior adalah suatu proses saling mempengaruhi, suatu proses timbal balik pada perilaku dan emosi manusia. Dan Hend’s Design menyadari betul akan hal ini. Desainer Interior Hend’s Design memahami apa sasaran yang ingin dicapai dari desainnya. Dan yang paling penting, Desainer Interior Hend’s Design paham betul siapa yang akan menikmati desain tersebut, siapa yang akan menggunakan ruangan dan untuk kebutuhan apa. Oleh sebab itu kami sebagai Desainer Interior akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya lebih dulu dari klien kami terlebih dulu sebelum memulai perencanaan desainnya.